Senin, 26 September 2011

syahadat cintaku


SYAHADAT CINTA
Taufiqurrahman al-Azizy
DUA PERISTIWA
                Sepucuk daun melayang diterbangkan angin dari balik semak, berputar sesaat dan berpilin pelan, hingga jatuh tepat diujung kaki kananku. Aku sedang duduk menghela nafas diatas gundukan kecil berhiaskan krokot putih dan pakis krul. Kurasakan hembusan angin yang semilir ini. Sejuk sekali. Bila tanpa semak – semak, rerimbunan daun pepohonan yang berjajar-jajar dibelakangku, tentu semilir angin tak cukup berarti untuk menghilangkan sengatan matahari. Disinilah aku biasa berhenti untuk sekedar melepas lelah, pada detik ini, setiap hari, selama hampir dua bulan.
            Memang, pada saat –saat ini seperti ini, biasanya angin akan bertiup dari arah utara, dari balik pegunungan Tegal jadin, dari balik punggungku. Aku belum begitu kenal tempat ini, daerah ini, sebab aku baruseumur jagung tinggal di daerah ini. Aku hanya tahu satu tempat, sekitar dua kilo, di sebelah barat sana. Disana ada sebuah sumber mata air yang jernih, membentuk telaga kecil namun cukup dalam, dengan ikan –ikan kecil dan kerikil-kerikil yang berwarna putih dan merah. Setiap pagi aku harus berlari-lari kesana, memikul dua buah jirigen, mengambil air, dan membawa kebawah. Setioap hari, setiap pagi. Selama hampir dua bulan ini.
            Sahabat-sahabat di pesantren seharusnya berterima kasih padaku, sebab tanpa aku tidak mungkin mereka bisa mandi, Mencuci, dan berwudhu, dari bak yang berukuran 1x1x7 m itu. Tanpaku, mereka harus berjalan kaki sepanjang 3 km hanya untuk mandi, mencuci, berwudhu. Tentu ini untuk para santri putra, lain denga santri putri. Atau mereka harus berjalan sepanjang 5 km, kearah selatan dimana ada sungai yang dikenal dengan sebutan kedung panas. Aku sendiri belum pernah ke sungai itu, kecuali dulu ketika pertama kali aku datang ke pesantren ini. Konon, sungai inilah satu-satunya sungai yang masih mengalir diwilayah ini disaat sungai-sungaim yang lainnya susah kering. Dilanda kerasnya amukan musim kemarau seperti sekarang ini. Konon pula telaga kecil tempat dimana aku mengambil air itu adalah telaga yang tidak pernah kering airnya. Keseimbangan kosmis, begitu biasanya kang Rahmat, seniorku di pesantren, melafazkan hikmah kenapa air ditelaga itu tidak ada habis-habisnya. Awalnya aku merasa demikian aneh dengan daerah ini, sebab musim kemarau tidak terasa sama sekali. Seharusnya, musim kemarau menghajar wilayah ini habis-habisan, seperti wilayah-wilayah lain di sol. Tetapi siapa yang mengharuskannya? Koran-koran solo sering melaporkan bahwa wilayah solo merupskn wilayah uang menderita kekeringan akibat kemarau. Tapi disini? Kang Rahmat barangkali benar. Keseimbangan kosmis nbamanya, tetapi aku lebih suka menyebutnya sebagai keindahan Teagal Jadin.
            Aku pungut daun perdu yang tadi jatuh di ujung kakiku. Aku pegang, aku perhatikan dengan seksama. Daun ini sudah menguning pertanda sudah harus berpisah dari rantingnya.
Daun perdu yang layu
            Kuperhatikan lagi, lebih seksama dan daun itu tampak lebih layu dimataku.
            Lam aku memperhatikannya, semakin lama semakin kuperhatikan dia, tak terasa air mataku meleleh dipipiku. Layunya daun perdu ini mengingatkanku aku tentang dua peristiwa yang tak mungkin bisa aku lupakan, yang telah mengubah hidupku, hingga membawaku kesini, seperti sekarang ini.
            Iqbal, namaku Iqbal. Hingga dua bulan yang lalu, aku masih menjadi anak dari ayahku. Aku anak tunggal Daeng Abdullah, seorang pengusaha minyak yang kaya raya, yang labih banyak menghabiskan umur diantara minyak minyak daripada diantara aku dan ibu. Ayah berasal dari sulawesi, sedang ibuku berasal dari solo. Pesantren ini pun terletak di solo., tetapi sumpah aku belum pernah berkunjung ketempat ibuku. Aku lahir, tumbuh, dan besar di Jakarta, diantara berjuta kendaraan dan udara yang polusi. Sebutlah sebuah tempat yang mewah dan megah, aku akan mengakjakmu kesanadan menujukkan kemewahan dan kemegahannya. Aku mengenal seluk beluk Jakarta seperti aku mengenal diri aku sendiri seperti juga rumahku. Dipesantren inipiun banyak sahabata yang bersal dari solo, dan ibu benar dalam satu hal, Orang solo itu ramah-ramah. Bahasanya lembut dan sikapnya sopan. Persis seperti ibuku. Barangkali, kelembutan bahasa ibuku dan sikap sopannya itulah yang berhasil menundukkan kekerasan bahasa dan sikap ayah, hingga aku lahir sebagai buah hasildari penikahannya mereka. Ibu sering bilang aku mengenal ayahmu hanya satu bulan sebelum dia menikahiku. Kata itu, ibu semester akhir dan ayahmu telah sibuk dsengan minyaknya...
            Bagaimana ibu bisa mencintainnya ? bagitu biasanya aku bertanya.
            Seperti ketika kamu mencintai seorang kekasih..., hanya ini penjelasan ibu. Ketika  aku memintanya untuk menjelaskannya semua, ibu hanya membalasnya dengan seulas senyum. Barangkali, biarlah kisah cinta ibu dan ayah hanya menjadi rahasia mereka berdua. Aku tak peduli.
            Mencintai kekasih?
            Bagaimana ibu yakin akan hal itu, padahal aku belum punya kekasih? Tak ada pacar dalam kehidupanku. Aku memang punya banyak sahabat perempuan, tetapi lebih banyak lagi aku memiliki sahabat laki-laki.
            Apa yang mesti dilakukan oleh seorang anak tunggal dari keluarga yang kaya raya? Pertanyaan ini sering dipertanyakan. Klise, tetapi, memang benar jika diajukan kepadaku. adalah anak tunggal Daeng Abdullah pengusaha minyak yang kaya raya, maka aku bisa melakukan semuannya. Dan semau-maunya. Segala yang aku inginkan pasti dituruti. Segala yang aku pinta pasti dipenuhi. Sebutlah mobil yang baru, aku memilikinya. Sebutlah hotel termahaldi Jakarta, aku biasa tidur disana, sebutlah tempat hiburan yang bergengsi, aku kenal dengan pengelolanya. Sebutlah kalangan jet set yang aku suka menggelar tarian striptease, aku pasti ada diantara mereka. Dan sbutlah miniman yang paling mahal dan yang paling memabukkan, aku telah terbiasa meminumnya dan dimabukkannya. Aku menikmati hidupku dengan caraku sendiri, cara seorang anak dari keluarga yang kaya raya. Aku tidak perlu berkerja mencari uang, sebab uang akan datang sendiri kepadaku. Berapapun yang aku minta. Ayah akan memenuhinya, bahkan, jikapun aku telah siap menggantikan posisinya perusahaan, ayah siap memberi. Tetapi aku tidak sudi, sebab haruslah ayah yang bekerja, sedang aku yang menikmati. Toh ayah tidak pernah marah, apabila mencaci maki.
            Aku pernah kuliah, tetapi untuk apa? Untuk mencari uang? Semuannya sudah aku miliki. Tak sudilah aku duduk lama-lama, didepan dosen yang biasa mengajar sambil menghitung hari. Untuk mendapatka ilmu? Tetapi untuk apa dan mau apa setelah ilmu didapat? Aku pernah mengajukan pertanyaan pada salah seorang dosenku dengan pertanyaan itu, dan dosen itu hanya diam sebagai jawabannya. Mukanya memerah, sebab sikapku meremehkannya. Kala itu aku bertanya untuk apa anda mengajar ilmu kepada kami, kecuali ilmu itu akan bisa bermanfaat untuk membangun hidup kami, sedangkan saya sudah memiliki segalannya tanpa ilmu yang anda ajarkan? sejak saat itu aku tidak boleh mengikuti kuliannya, padahal aku malas mendengar ocehannya. Dan aku menjadi malas untuk mendengarkan semua ocehan dosen di kampus. Aku hanya tahan di tingkat yang pertama. Kuliah hanya membuang qwaktu dengan percuma.
            Aku sangat menghargai waktuku sebagaimana aku menikmatinya. Cara menghargainya adalah dengan menggunakan waktu untuk bersenang-senang. Dan bersenang-senang. Terus bersenang-senang. Malam hari di Jakarta tampak sangat indah jika dibandingkan dengan siang harinya. Biasanya, aku akan keluar rumah, mengajak beberapa sahabat, pergi ke night club. Pesan minuman. Menggoyangkan badan. Betapa indahnya rasa mabuk. Sebab dalam keadaan mabuk tidak ada yang tidak indah. Pernah suatu ketika, aku dikejar-kejar polisi, sebab mobilku menabrak seseorang, aku mengendarainya dalam keadaan mabuk.aku suka dikejar polisi, sebab aku mabuk. Aku lebih suka lagi, sebab polisi tidak dapat menangkapku. Aku pulang malam itu dengan selamat. Setiap malam di jakarta adalah malamku dimana aku bisa menikmatinya dengan sepuas-puasnya.
            Pernah pula aku ingin membunuh seseorang yang berulah rusuh, ketika aku sedang bercengkrama di salah satu night club di bilangan jakarta selatan. Laki-laki itu coba merayu seorang gadis. Gadis itu ketakutan. Semakin ketakutan, semakin beringas laki-laki itu,. Matanya itu yang membuatku marah. Matanya adalah mata lelaki hidung belang. Laki-laki bangsat. Akupun bangsat. Tetapi tidak pernah merayu seorang gadis, apalagi memiliki mata seperti itu. Dimatanya, gadis itu pasti dalam keadaan telanjang. Aku marah sekali. Aku suruh dia untuk segera menjauh dari gadis itu. Dia tidak mau. Aku ancam, dia balas mengancam. Aku keluarkan pistol, mulutnya seakan-akan menantang, Tembaklah, pilih dada, perut, atau kepala, silakan ha..ha..ha..
            Kutarik pelatuk dan siap membuncahkan peluru. Kuarahkan tepat dikepalanya. Jika sahabat-sahabatku tidak segera menarikku keluar, sudah aku ledakkan kepalanya itu.
            Sabar, Bal..., tahan mereka mencegahku. Sungguh, kalau saja sahabatku itu terlambat sedikit, pasti sudah aku ledakan kepalanya hanya dengan sekali tembak saja. Dan pasti aku akan mendekam dipenjara hingga sekarang ini. Tetapi aku benar-benar senang melihat laki0laki itu ketakutan. Wajahnya pucat daripada mayat. Ia lari tunggang langgang. Sejak saat itu ketika aku ketempat itu, dia tidak pernah kesana lagi.
            Kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Tetapi aku tidak melihat batas itu pada diri ibu. Melihat ulahku yang seperti itu, yang setiap hari hanya menghamburkan uang. Yang setiap malam menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, yang setiap siang hanya tidur dan tidur lagi. Ibu tetap sabar. Memang, dulu ibu berkata Apapun boleh kamu lakukan, tetapi permintaan ibu hanya satu...?
            Apa itu, ibu?
            Rawatlah bunga itu baik-baik...
            Oh, ibu Aku bisa demikian keras kepala kepada setiap orang, tetapi hatiku begitu luluh kepadamu. Aku turuti perintahmu aku melakukan apapun yang kau mau. Ibu tidak pernah marah ketika aku pulang dalam keadaan mabuk. Dia akan menuntunku ke kamar tidur. Membuka sepatuku. Mencopot kaos kakiku. Menyelimutiku. Mengecup keningku. Dan itu dilakukan dari hati seoarang ibu. Apabila ayah marah kepadaku, aku akan membalasnya dengan kemarahan yang lebih. Ayah pernah sangat marah karena aku ingin membunuh laki-laki bangsat itu. Setelah salah seorang sahabat melaporkan kepadanya. Melihat ayah yang dekmikian marah. Aku tantang ayah untuk berduel sekalian. Tiga empat sepuluh kali ayah kena tinjuku, pasti akan tersungkur dia. Aku berani demikian karena aku tidak demikian akrab dengannya. Waktu membuat kami tidak pernah merasakan keakraban sama sekali.
            Lain halnya dengan ibu.
            Permintaan ibu untuk merawat bunga-bunga aku penuhi.
            Seperti pada umumnya perempuan yang suka terhadap bunga dan taman, seperti itu pula ibuku. Darah kesukaan terhadap bunga dan tanaman ini tampaknya dilahirkan dalam darahku. Apakah ini berarti darahku mengandung sifat perempuan?Ah, aku tidak tahu. Aku kelola dan aku rawat bunga-bunga itu dengan baik. Bahkan taman dihalaman itu aku sendiri yang membuat dan mengaturnya. Memasuki halaman rumahku, akan disambut oleh air terjun dan kolam hias yang telah aku buat. Aku masih ingat komponen-komponen untuk membuatnya. Serutan, relief batu-batuan, the-teha, mutiara, kerikil kecil, krokot merah, pakis krul. Taman ini akan menciptakan suasana pegunungan dirumahku. Sungguh indah suasana pegunungan ditengah-tengah keributan kota sperti jakarta. Dipojok kanan halaman depan, kubuat taman pula dengan komposisi yang tepat dengan luasnya halaman. Aku tata batu-batuan arifisial sedemikian rupa. Setinggi dua setengah meter.
            Hingga sore itu. Ketika aku pulang dari rumah seorang teman, kutemukan salah satu anggrek di pot di pojok kiri halaman depan, layu. Aku marah, kenapa Anggrek ini bisa layu padahal kemaren segar ? siapa yang telah membuat layu ?
            Aku amati pot itu cermat. Pasti, pasti ada yang telah mencabutnya, sengaja ataupun tidak. Kuteriaki pak Kardi, tukang kebunku. Kumaki-maki dia, bagaimana bisa anggrekku layu,?!
            Maaf, Den saya tidak tahu...?
            Tidak tahu bagaimana. Kamu kan tukang kebun,?
            Demi Allah, Den ...
            Alaaaaaah.. tukang kebun macam apa kamu?
            sungguh Den..
            Demikian ketakutan pak kardi kepadaku. Wajahnya demikian pucat. Beribu-ribu maaf dia lontarkan. Kerjaan tukang kebun memang hanya meminta maaf dan mengatakan aku tidak tahu..!, pikirku. Kutinggalkan pak Kardi yang masih berdiri gemetaran. Kutemui Bik Inah, barang kali dialah biangnya. Teryata, diapun tidak tahu. Diapun ketakutan. Wajahnya pucat pasi. Lalu aku tanya ibuku.
            mungkin kena penyakit ? katanya.
            penyakit apa ..?
Yaaah, ibu nggak tahu.
tanya saja pada anggrek itu..gurau ibu.
            Gurauan itu tidak tepat dilontarkannya pada saat seperti ini. Aku lebih marah lagi. Aku berjanji tidak mau merawat bunga-bunga lagi. Aku segera berlalu dari depan ibu. Kubanting pintu keras-keras. Keluar rumah. Menuju mobil. Pergi lagi. Inilah kali pertama aku marah-marah pada ibu.
            Hingga malam. Hingga aku pulang hampir jam setengah dua. Aku terlalu banyak minum malam ini. Kepala ku pening ini. Dunia seolah-olah berputar pelan. Tubuhku demikian ringan. Setengah sadar aku gedor- gedorkan pintu. Bik inah membukakannya. Aku melangkah gontai menuju kamarku yang ada di lantai dua.          
            Samar-samar aku melihat ibu yang menuruni tangga. Kembali aku teringat anggrekku yang layu.
            Mabuk lagi, Bal...? suara ibu lirih menyapa.
            siapa yang mabuk ? kataku terbata-bata.
Apa kamu akan terus-terusan begini, Bal ? Ibuku mencoba memapahku menaiki tangga.
            Aku tidak mau.
            Minggir . . . ! bentakku.
            Samar-samar aku lihat wajah ibuku yang kaget mendengar bentakanku.
            Iqbal, apa yang terjadi kepadamu. . .
            Alaaah  . . .minggir
            Kudorong ibu keras-keras. Ibu terjungkat. Sayup-sayup kudengar kepalanya terbentur pegangan tangga. Dug!!! Keras sekali. Aku tak peduli. Aku menaiki anak-anak tangga, ingin segera sampai di kamar. Tetapi aku sudah tidak kuat. Aku tergelak di anak tangga terakhir. Ketika aku masih bisas mendengar teriakan Bik Inah yang memanggil-manggil Pak Kardi.
            Pagi harinya, ketika aku bangun, suara berisik terdengar. Ada desah tangis membuncah. Tangis Bik Inah. Badanku masih letih pelan-pelan aku turuni tangga.
            Kenapa Bik ?
            Den. . . . ibu den Iqbal. .  dirawat dirumah sakit. .
            Apa !!! aku demikian terkejut. Apa, Apa yang terjadi Bi ?
Ibu den Iqbal koma. . .?tangis Bik Inah semakin keras. Aku menjadi ingat kejadian malam tadi.
            Layunya anggrek dan ibu yang koma beberapa hari itulah yang telah mengubah hidupku. Setelah mendengar cerita Bik Inah, dan setelah sadar bahwa akulah yang menyebabkan ibuku menderita begitu, aku segera berangkat ke rumah sakit.
            Sesampai disana, didepan kamar tepat ibu dirawat, kutemukan pak kardi yang wajahnya demikian cemas. Kutanyakan kepadanya tentang keadaan ibuku, dia hanya menjawab dengan tetesan air mata.
            Aku segera menghambur kedalam. Aku peluk ibu yang masih sadarkan diri. Aku tidak peduli larangan dua perawat, agar aku tidak menganggu ibu. Aku menangis. Inilah tangisan pertamaku. Inilah kali pertama aku meminta maaf kepada ibu.  Dua perawat menarikku. Kata mereka, ibu akan segera dibawa ke ruang operasi otaknya mengalami pendarahan. Bik inah telah menghubungi ayah. Sekarang ayah dalam perjalanan menuju kesini. Aku tidak mau ibu mati. Dan inilah kali pertama aku kembali teringat satu nama : Allah, Tuhanku.
Inilah kali pertama aku memohon ampunya. Kutengadahkan tangan sebagaimana dilakukan ibu waktu sholat, memohon belas kasihnya. Shalat ??? Duh gusti, jiwa apa yang aku miliki ini. . . . . . aku seorang muslim, tetapi aku tidak sholat bahkan aku tidak tahu bagaimana cara berwudhu dan apa kalimat-kalimat yang harus aku baca. Aku sering menganggap sholat hanyalah kesia-siakan waktu dan perbuatan. Sholat dan tidak sholat, sama saja. Buktinya ?? ibuku baik- baik saja. Seandainnya saja ibuku tidak pernah sholat, dia baik-baik saja. Puasa ramadhan,?? Apalagi. Bagaimana aku bisa menahan haus dalam keadaan jakarta yang menyengat.
Guh gustiiiiii, Jiwa apa yang telah mencengkramku sehingga aku sam sekali melupakanmu??? Duh, Allah, selamatkan nyawa ibu.
Bahwa Engkau akan menghukumku, Atas segala dosa-dosaku, aku akan terima. Aku siap masuk ke nerakamu, asal engkau berkenan menyelamatkan ibu..
Aku terus berdo’a. dan terus berdo’a.
***

Beberapa hari kemudian, ibu mulai tersadar. Ayah duduk disampingnya. Sedang aku duduk menunduk di kursi di sudut ruangan. Sungguh, barun kali ini aku tidak berani menatap wajah ayah, apalagi wajah ibuku. Aku menyesal sesesa-sesalnya.
Iq.. Iqbal...kesinilah . . . terdengar suara ibu lirih memanggilku.
aku semaki menunduk
Iqbal. . . . sekarang giliran ayah yang memanggilku.
Semakin dalam aku tertunduk
Sekarang, aku akan menerima kemarahan ayah apabila beliau marah. Aku layak ,mendapatkannya marahilah aku ayah, anakmu yang tak tau diri ini. Marahlah. Aku akan  menerimanya. Aku. . .
Iqbal . . ., kembali ibu berkata, kau kenapa, nak. . . ?
            Aku menangis sesenggukan.
ke sinilah. . .
            Kukumpulkan seribu kekuatan untuk mendongakkan kepala. Pelan-pelan aku lihat wajah ayah, dan tidak aku temukan semburat kemarahan di wajahnya.
            Aku berpaling kepada ibu. Sejurus kemudian, aku menghambur memeluknya. Tidak ada kata-kata yang pantas aku ucapkan, kecuali permintaan maafku. Rasanya, beri-ribu maaf tidak akan cukup kupinta sama ibuku.
            Sudahlah, Nak. Ibu gak apa-apa. . . ?
            Kata-kata itu demikian terasa menghujam didalam dadaku. Doaku, doa seorang anak yang hina dan rendah ini, teryata dikabulkan oleh Allah. Aku yang maha pedosa ini, teryata masih diachuhkan-Nya.
            Duh Allah siapakah Engkau adanya.
            Betapa selama ini aku telah melupakan-Mu. Bahwa kasih-Mu itu ada. Bahwa sayang-Mu itu sangat terasa.
Maafkanlah aku, Ibu. . . ?
Sudahlah. . . .
Aku bersalah padamu. . . aku anakayang tidak berguna. Bagaimana aku bisa menyakitimu seperti ini, ibu.?
            Waktu demikian aneh memintal benangnyadan menggulung-gulung nuraniku. Sejak peristiwa itu, aku ttidak lagi keluar rumah untuk bersenang-senang seperti dulu. Bagiku, tidak ada waktu yang menyenangkan kecuali bila berada disanding ibu. Tapi kenapa anggrekku bisa layu. ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar